Apakah Ekonomi Dunia Akan Resesi Lagi?
Ekonomi dunia kini belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi covid-19, tapi Bank-Bank Dunia sudah terlebih dahulu mewanti-wanti bahwa resesi akan datang lagi. Malah kali ini dalam skala global yang lebih besar. Jadi apa yang haris kita lakukan?
Situasi perekonomian global belum bisa sepenuhnya untuk bernapas lega usai melewati pandemi COVID-19. Pada Selasa (07/06) Bank Dunia ini juga telah memperingatkan bahwa perang, kebijakan lockdown di Cina, dapat sangat menganggu rantai pasokan, dan stagflasi telah banyak memukul pertumbuhan ekonomi. “Bagi banyak negara di dunia, resesi akan sangat sulit sekali untuk dihindari,” kata Presiden Bank Dunia, David Malpass, seperti dikutip dari laman internet Bank Dunia.
Ada juga beberapa tantangan yang akan sangat wajib diwaspadai serta diantisipasi oleh negara-negara di dunia agar tidak terjebak ke dalam jurang resesi ekonomi. Misalnya, kondisi perang antara Rusia dan juga Ukraina serta dengan pengetatan kebijakan moneter yang terus digaungkan oleh pihak Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve System) atau The Fed.
Resesi, siklus yang terus berulang
Resesi itu merupakan sebuah siklus ekonomi yang selalu terjadi dan berulang-ulang. Sejumlah pemikir/pakar ekonomi dunia seperti Joseph Schumpeter di kutip dalam jurnalnya yang berjudul The Analysis of Economic Change pada tahun 1935, telah menelisik ulang teori siklus ekonomi yang terjadi setiap kurun waktu tujuh hingga 11 tahun. Sementara itu Nikolai Kodrantiev, seorang pakar ekonomi Uni Soviet, juga telah merumuskan hipotesisnya dalam buku nya The Major Economic Cycles, bahwa siklus ekonomi ini juga terus terjadi setiap 45 hingga 60 tahun sekali.
Sejarah juga telah mencatat serangkaian resesi global yang pernah terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Masih sangat segar dalam ingatan berbagai negara ini, termasuk negara Indonesia dan juga Jerman, telah masuk masa resesi akibat dari pandemi COVID-19.
Sebelumnya pada tahun 2012, krisis keuangan yang telah melanda sejumlah negara-negara di Eropa. Lalu, ada juga housing bubble yang terjadi pada tahun 2008 di Amerika Serikat yang telah mengakibatkan bank investasi terbesar di seluruh dunia Lehman Brothers untuk gulung tikar.
Wilayah di Asia Tenggara sendiri juga sudah pernah mengalami keterpurukan ekonomi yang telah dimulai dari Thailand kemudian juga merambat ke Indonesia dan beberapa negar-negara wilayah Asia lainnya pada tahun 1997 hingga 1999.
Siklus resesi bisa lebih pendek?
Kepala Ekonom Bank Central Asia Tbk. (BCA) David Sumual menyebutkan tidak akan menutup kemungkinan bahwa akan terjadi lagi siklus resesi ekonomi pada masa depan bisa jadi lebih pendek daripada yang selama ini telah diteorikan para ekonom-ekonom dunia.
Resesi ekonomi juga merupakan salah satu siklus yang tidak dapat dielakkan, menurut David. Negara-negara maju super power seperti Amerika Serikat pun belum akan siap untuk mengatasi laju inflasi yang sangat tinggi sehingga bisa menaikkan suku bunga dengan sangat cepat. Perlambatan ekonomi ini bisa diindikasikan juga dari tingkat utang global, dia juga menambahkan bahwa negara-negara maju kini telah mengalami tren kenaikan utang yang dipastikan bisa sangat mengganggu perekonomian.
Karena itu, ia juga menilai negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini perlu juga untuk mempersiapkan kebijakan moneter sehingga resesi ekonomi tidak akan terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap konsumsi di masyarakat. Sementara itu terhadap kalangan masyarakat luas, dia juga menyarankan agar pada tiap fase pesatnya akan pertumbuhan ekonomi, masyarakat diperlukan untuk bisa menabung.
Subsidi perlu dipertimbangkan
David menyoroti bahwa anggaran negara yang sebesar 520 triliun rupiah telah dialokasikan untuk menahan terus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite, LPG tabung 3 kilogram, hingga tarif listrik golongan bawah. Dia juga mengatakan bahwa subsidi untuk BBM ini cenderung sangat tidak tepat sasaran kepada golongan masyarakat menengah ke bawah. Karena saat ini, harga ekonomi dan juga jual BBM sudah sangat lebar sehingga dapat dan juga bisa menimbulkan distorsi di pasar.
“Penyaluran untuk subsidi BBM yang sangat tidak tepat sasaran dapat memicu untuk penyelundupan. Sektor industri juga tidak boleh untuk menerima subsidi. Harus diperhatikan terus efektivitasnya,” kata David.
“Subsidi boleh, jangan juga sampai terlalu besar, (karena) distorsi pasti besar juga,” tegas David. Menurut dia, pemerintah juga perlu untuk terus membenahi data agar subsidi yang disalurkan oleh pemerintah bisa tepat sasaran. David juga mencontohkan bagaimana pemerintah India telah memiliki pengelolaan data yang lebih baik serta juga dapat melibatkan sektor finansial untuk bisa menyalurkan subsidi tepat sasaran.